TERAPI SKIZOFRENIA


TERAPI SKIZOFRENIA

I.1. TERAPI BIOLOGIS
I.1.1 Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak mencapai cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala schizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine, iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi, maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup mahal. Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik) (Wicaksana, 2000).

I.1.2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu.
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).

I.1.3 Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.


I.2 PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan (Wicaksana, 2000).
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
I.2.1 Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran (Akinson, 1991).
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
(1) transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur yang disukai oleh penderita,
(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur yang dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD, 1992).

I.2.2 Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus, 1971 dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko, 1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di Malaysia pada tahun 2000, cognitif - behavior therapy untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif - behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al., 1991; Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini, penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan perawatan.

b. Social Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994; Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.

I.2.3 Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien, khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik
yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi